Sistem Perdagangan Dalam Islam
ALLAH menciptakan
manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Tidak
ada seorangpun yang dapat menguasai seluruh apa yang diinginkan. Tetapi manusia
hanya dapat mencapai sebagian yang dihajatkan itu. Dia mesti memerlukan apa
yang menjadi kebutuhan orang lain.
Untuk itu Allah
memberikan inspirasi (ilham) kepada mereka untuk mengadakan pertukaran
perdagangan dan semua yang kiranya bermanfaat dengan cara jual-beli dan semua
cara perhubungan. Sehingga hidup manusia dapat berdiri dengan lurus dan irama
hidup ini berjalan dengan baik dan produktif. 1
Pengertian
Perdagangan dalam kamus wikipwdia dapat didefinisikan sebagai
kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau
keduanya. Pada masa awal
sebelum uang ditemukan, tukar menukar barang dinamakan
barter yaitu menukar barang dengan barang. Pada masa modern perdagangan
dilakukan dengan penukaran uang. Setiap barang dinilai dengan sejumlah uang.
Pembeli akan menukar barang atau jasa dengan sejumlah uang yang diinginkan
penjual. Dan aktivitas perdagangan ini merupakan kegiatan utama dalam sistem
ekonomi yang diterjemahkan sebagai
sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi,
distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. 2
Dalam pandangan Islam Perdangan
merupakan aspek kehidupan yang dikelompokkan kedalam masalah muamalah, yakni
masalah yang berkenaan dengan hubungan yang bersifat horizontal dalam kehidupan
manusia. Meskipun demikian, sektor ini mendapatkan penekanan khusus dalam
ekonomi Islam, karena keterkaitannya secara langsung dengan sektor riil. Sistim
ekonomi Islam memang lebih mengutamakan sektor riil dibandingkan dengan sektor
moneter, dan transaksi jual beli memastikan keterkaitan kedua sektor yang
dimaksud.
Keutamaan sistem ekonomi yang mengutamakan sektor
riil seperti ini, pertumbuhan bukanlah merupakan ukuran utama dalam melihat
perkembangan ekonomi yang terjadi, tetapi pada aspek pemerataan, dan ini memang
lebih dimungkinkan dengan pengembangan ekonomi sektor riil. 3
Dalam
Islam kegiatan perdagangan itu haruslah mengikuti kaidah-kaidah dan ketentuan
yang telah ditetapkan oleh Allah. Aktivitas perdagangan yang dilakukan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh agama mempunyai nilai ibadah. Dengan demikian, selain mendapatkan
keuntungan-keuntungan materiil guna memenuhi kebutuhan ekonomi, seseorang
tersebut sekaligus dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Usaha perdagangan
yang didalamnya terkandung tujuan-tujuan yang eskatologis seperti ini dengan
sendirinya mempunyai watak-watak khusus yang bersumber dari tata nilai samawi.
Watak-watak yang khusus itulah merupakan ciri-ciri dari perdagangan yang Islami
sifatnya, dan ini tentu saja merupakan pembeda dengan pola-pola perdagangan
lainnya yang tidak Islami.
Watak ini menjadi karakteristik
dasar yang menjadi titik utama pembeda
antara kegiatan perdagangan Islam dengan perdagangan lainnya, yaitu perdagangan yang dilakukan atas dasar prinsip
kejujuran, yang didasarkan pada system nilai yang bersumber dari agama Islam,
dan karenanya didalamnya tidak dikenal apa yang disebut zero sum game, dalam
pengertian keuntungan seseorang diperoleh atas kerugian orang lain. Dengan
kejujuran dan aspek spiritual yang senantiasa melekat pada praktek-praktek
pelaksanaannya, usaha perdagangan yang terjadi akan mendatangkan keuntungan
kepada semua pihak yang terlibat. Perdagangan yang dilakukan dengan cara yang
tidak jujur, mengandung unsur penipuan (gharar), yang karena itu ada pihak yang
dirugikan, dan praktek-praktek lain sejenis jelas merupakan hal-hal yang
dilarang dalam Islam.
Ayat-ayat dan Hadits tentang
perdagangan :
Setiap
kegiatan umat Islam dalam kehidupan baik secara vertikal maupun horizontal,
telah diatur dengan ketentuan-ketentuan agar sesuai dengan yang diperintahkan
oleh Allah. Hal yang mendasari setiap
perbatan itu dilandaskan pada sumber-sumber hukum yang bersumber dari Al-Quran
dan Hadits. Dengan demikian perdagangan dalam islam juga berdasar dari landasan
hukum tersebut.
Tentang perdagangan di dalam Alquran dengan jelas
disebutkan bahwa perdagangan atau perniagaan merupakan jalan yang diperintahkan
oleh Allah untuk menghindarkan manusia dari
jalan yang bathil dalam pertukaran seuatu yang menjadi milik di antara
sesama manusia. Seperti yang tercantum dalam Surat An-Nisa’ 29.
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dalam melakukan perniagaan, Allah juga telah mengatur adab
yang perlu dipatuhi dalam perdagangan, di mana apabila telah datang waktunya
untuk beribadah, aktivitas perdangan perlu ditingalkan untuk beribadah kepada
Allah, surat
Al-Jum’ah 11.
Dan apabila mereka melihat perniagaan
atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu
sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih
baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah sebaik-baik pemberi
rezki.
Dan dalam ayat lain seperti di surat
An-Nur 37, dijelaskan bagaimana
orang tidak lalai dalam mengingat Allah hanya karena perniagaan dan jual beli.
Laki-laki yang tidak dilalaikan
oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan
(dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada
suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
Demikain pula tata tertib dalam perdagangan juga telah digariskan di dalam Alquran, baik
itu perdagangan yang bersifat tidak
tunai dengan tata aturannya, maupun cara berdagang tunai, seperti yang
tercantum dalam surat
Al-Baqarah 282 berikut :
Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
[179] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang
piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
Adab tentang perniagaan dengan jelas pula diatur, bahwa
manusia tidak boleh berlebihan dalam melakukan perdagangan sehingga melupakan
kewajibannya terhadap Allah, seperti dijelaskan dalam Surat At-Taubah 24
berikut :
Katakanlah: "Jika bapa-bapa ,
anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan
dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan
NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
Dalam melakukan transaksi perdagangan Allah memerintahkan
agar manusia melakukan dengan jujur dan Adil.
Tata tertib perniagaan ini dijelaskan Allah seperti tercantum dalam
Surat Hud 84-85. Demikian pula dalam
Surat Al-An’am 152, yang mengatur tentang takaran dan timbangan dalam
perniagaan.
Dan kepada (penduduk) Mad-yan
(Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah
Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi
takaran dan timbangan, Sesungguhnya Aku melihat kamu dalam keadaan yang baik
(mampu) dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang
membinasakan (kiamat)."
Dan Syu'aib berkata: "Hai
kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu
merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan
di muka bumi dengan membuat kerusakan.
Dan janganlah kamu dekati harta
anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan
beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu
berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah
kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520]. yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.
[519] maksudnya mengatakan yang Sebenarnya meskipun
merugikan kerabat sendiri.
[520] maksudnya penuhilah segala
perintah-perintah-Nya.
Selain dalam Alquran, tentang perdagangan terdapat hadist
yang menjelakan bahwa Allah tidak akan mengajak sesorang berbicara, tidak
dipandang, tidak disucikan dan mereka mendapatkan siksa yang pedih apabila
menipu dalam perniagaan. Seperti yang diriwayatkan
dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim.
Hadis riwayat
Abu Hurairah ra, ia berkata :
Rasulullah saw.
Bersabda: Ada tiga orang yang nanti pada hari kiamat tidak akan diajak bicara
oleh Allah, tidak dipandang, tidak disucikan dan mereka mendapatkan siksa yang
pedih, yaitu; orang yang mempunyai kelebihan air di gurun sahara tetapi tidak
mau memberikannya kepada musafir; orang yang membuat perjanjian dengan orang
lain untuk menjual barang dagangan sesudah Asar; ia bersumpah demi Allah bahwa
telah mengambil (membeli) barang itu dengan harga sekian dan orang lain
tersebut mempercayainya, padahal
sebenarnya tidak demikian; orang yang berbaiat kepada pemimpin untuk
kepentingan dunia. Jika sang pemimpin memberikan keuntungan duniawi kepadanya,
ia penuhi janjinya, tapi bila tidak, maka ia tidak penuhi janjinya. (HR.
Bukhari dan Muslim) 4
Dan dalam perdagangan dilarang sistem jual beli Mulamasah
(wajib membeli jika pembeli telah menyentuh barang dagangan) dan munabazah
(sistem barter antara dua orang dengan melemparkan barang dagangan
masing-masing tanpa memeriksanya). Hal ini tepapar dalam hadist Riwayat Abu Hurairah.
Hadis riwayat
Abu Hurairah ra.: Bahawa Rasulullah saw, melarang sistem jual beli mulamasah
(wajib membeli jika pembeli telah menyentuh barang dagangan) dan munabadzah
(sistem barter antara dua orang dengan melemparkan barang dagangan masing-masing
tanpa memeriksanya) (HR. Bukhari dan Muslim). 4
Dan dalam perdagangan Islam dilarang mencegat barang
dagang sebelum tiba di Pasar, seperti diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra dan juga
diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud ra.
Hadis riwayat
Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang mencegat barang dagangan sebelum
tiba di pasar. Demikian menurut redaksi
Ibnu Numair. Sedang menurut dua perawi yang lain: Sesunggunya Nabi saw. melarang pencegatan. (HR. Bukhari dan Muslim).
4
Hadis riwayat
Abdullah bin Mas’ud ra.: Dari Nabi saw. bahwa beliau melarang pencegatan
(blokir) barang-barang dagangan. (HR Bukhari dan Muslim) 4
Dalam perdangan Islam, dilarang apabila yang
diperdagangkan secara zatnya adalah Haram, seperti Khamar. Hal ini diriwayatkan oleh Aisyah ra.
Hadis riwayat
Aisyah ra., ia berkata: ketika turun beberapa ayat terakhir surat Al-Baqarah,
Rasulullah saw. Keluar lalu membacakannya kepada orang-orang, kemudian beliau
mengharamkan perdagangan khamar. (HR. Bukhari dan Muslim). 4
Hadis riwayat
Barra’ bin Azib ra. : Dari Abul Minhal ia berkata: Seorang kawan berserikatku
menjual perak dengan cara kredit sampai musim haji lalu ia datang menemuiku dan memberitahukan
hal itu. Aku berkata: Itu adalah perkara yang tidak baik. Ia berkata:
Tetapi aku telah menjualnya di pasar dan
tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Maka aku (Abu Minhal) mendatangi
Barra’ bin Azib dan menanyakan hal itu. Ia berkata: Nabi saw. Tiba di Madinah
sementara kami biasa melakukan jual beli seperti itu, lalu beliau bersabda:
Selama dengan serah-terima secara
langsung, maka tidak apa-apa. Adapun yang dengan cara kredit maka termasuk
riba. Temuilah Zaid bin Arqam, karena ia
memiliki barang dagangan yang lebi banyak dariku. Aku lalu menemuinya dan menanyakan hal itu.
Ia menjawab seperti jawaban Barra’. (HR. Bukhari dan Muslim). 4
Hadis riwayat
Abu Hurairah ra., ia berkata: Aku
mendengar Rasulullah saw bersabda: Sumpah itu penyebab lakunya barang dagangan,
tetapi menghapus keberkahan laba. (HR. Bukhari dan Muslim). 4
”Seorang laki-laki
menyampiakan kepada Rasullah saw bahwa dia selalu ditipu dalam
perdagangan. Rasulullah saw mengatakan
padanya, ’Bila engkau masuk dalam transaksi engkau seharusnya mengatakan: Ini
harus tidak ada penipuan.” (HR. Imam Nawawi). 5
”Rasulullah saw melarang perdagangan, pencarian milik
yang hilang, dan pembacaan puisi di dalam mesjid ((HR. Imam Nawawi). 5
Etika Perdagangan dalam Islam :
Menurut Syekh
Muhammad Yusuf Qardhawi, beberapa hal yang dilarang dalam perdagangan meliputi
: 3
Sabda
Rasulullah : "Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan
memperdagangkan arak, bangkai, babi dan patung." (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
"Sesungguhnya
Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Ia haramkan juga harganya."
(Riwayat Ahmad dan Abu Daud)
Setiap
aqad perdagangan ada lubang yang membawa pertentangan, apabila barang yang
dijual itu tidak diketahui atau karena ada unsur penipuan yang dapat
menimbulkan pertentangan antara si penjual dan pembeli atau karena salah satu
ada yang menipu.
Kalau
kesamaran itu tidak seberapa, dan dasarnya ialah urfiyah, maka tidaklah haram,
misalnya menjual barang-barang yang berada di dalam tanah, seperti wortel,
lobak, brambang dan sebagainya; dan seperti menjual buah-buahan, misalnya
mentimun, semangka dan sebagainya. Begitulah
menurut madzhab Malik, yang membolehkan menjual semua yang sangat dibutuhkan
yang kiranya kesamarannya itu tidak banyak dan memberatkan di waktu terjadinya
aqad.
Islam
memberikan kebebasan pasar, dan menyerahkannya kepada hukum naluri yang kiranya
dapat melaksanakan fungsinya selaras dengan penawaran dan permintaan. Justru
itu kita lihat Rasulullah s.a.w. ketika sedang naiknya harga, beliau diminta
oleh orang banyak supaya menentukan harga, maka jawab Rasulullah s.a.w.:
"Allahlah
yang menentukan harga, yang mencabut, yang meluaskan dan yang memberi rezeki.
Saya mengharap ingin bertemu Allah sedang tidak ada seorang pun di antara kamu
yang meminta saya supaya berbuat zalim baik terhadap darah maupun harta
benda." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, ad-Darimi dan Abu
Ya'la)
Akan
tetapi jika keadaan pasar itu tidak normal, misalnya ada penimbunan oleh
sementara pedagang, dan adanya permainan harga oleh para pedagang, maka waktu
itu kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan perorangan. Dalam
situasi demikian kita dibolehkan menetapkan harga demi memenuhi kepentingan
masyarakat dan demi menjaga dari perbuatan kesewenang-wenangan dan demi
mengurangi keserakahan mereka itu. Begitulah menurut ketetapan prinsip hukum.
Rasulullah
s.a.w. melarang menimbun dengan ungkapan yang sangat keras.
Sabda
Rasul: "Barangsiapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka
sungguh Allah tidak lagi perlu kepadanya." (Riwayat Ahmad, Hakim, Ibnu Abu
Syaibah dan Bazzar)
Dan
sabdanya pula: "Tidak akan menimbun kecuali orang berbuat dosa."
(Riwayat Muslim)
Perkataan
khathiun (orang yang berbuat dosa) bukan kata yang ringan. Perkataan ini yang
dibawakan oleh al-Quran untuk mensifati orang-orang yang sombong dan angkuh,
seperti Fir'aun, Haaman dan konco-konconya. Al-Quran itu mengatakan:
"Sesungguhnya
Fir'aun dan Haaman dan bala tenteranya, adalah orang-orang yang berbuat
salah/dosa." (al-Qashash: 8)
Rasulullah
s.a.w. menegaskan tentang kepribadian dan ananiyah orang yang suka menimbun itu
sebagai berikut: "Sejelek-jelek manusia ialah orang yang suka menimbun;
jika dia mendengar harga murah, merasa kecewa; dan jika mendengar harga naik,
merasa gembira." (hadis ini dibawakan oleh Razin dalam Jami'nya)
Dan
sabdanya pula: "Saudagar itu diberi rezeki, sedang yang menimbun
dilaknat." (Riwayat Ibnu Majah dan Hakim)
Dapat
dipersamakan dengan menimbun yang dilarang oleh Rasulullah s.a.w., yaitu:
seorang kota
menjualkan barang milik orang dusun. Bentuknya --sebagai yang dikatakan oleh
para ulama-- adalah sebagai berikut: Ada
seorang yang masih asing di tempat itu membawa barang dagangan yang sangat
dibutuhkan orang banyak untuk dijual menurut harga yang lazim pada waktu itu.
Kemudian datanglah seorang kota (penduduk kota tersebut) dan ia
berkata: Serahkanlah barangmu itu kepada saya, biarkan sementara di sini untuk
saya jualkan dengan harga yang tinggi. Padahal seandainya si orang dusun itu
sendiri yang menjualnya, sudah barang tentu lebih murah dan dapat memberi
manfaat pada kedua daerah dan dia sendiri akan mendapat untung juga.
Bentuk
semacam ini, waktu itu sudah biasa terjadi di masyarakat, sebagaimana yang
dikatakan oleh sahabat Anas r.a.: "Kami dilarang orang kota menjualkan barang orang dusun, sekalipun
dia itu saudara kandungnya sendiri." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Sabda
Nabi: "Tidak boleh orang kota
menjualkan untuk orang dusun; biarkanlah manusia, Allah akan memberikan rezeki
kepada mereka itu masing-masing." (Riwayat Muslim)
Demi
menjaga ketidak adanya campur tangan orang lain yang bersifat penipuan, maka
dilarangnya juga oleh Rasulullah apa yang dinamakan najasyun (menaikkan harga)
yang menurut penafsiran Ibnu Abbas, yaitu: "Engkau bayar harga barang itu
lebih dari harga biasa, yang timbulnya bukan dari hati kecilmu sendiri, tetapi
dengan tujuan supaya orang lain menirunya." Cara ini banyak digunakan
untuk menipu orang lain.
Kemudian
agar pergaulan kita itu jauh dari sifat-sifat pemerkosaan dan pengelabuhan
tentang harga, maka Rasulullah s.a.w. melarang mencegat barang dagangan sebelum
sampai ke pasar. (Riwayat Muslim, Ahmad).
Islam
mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam masalah jual-beli, maupun dalam
seluruh macam mu'amalah.
Rasulullah
s.a.w. pernah bersabda: "Dua orang yang sedang melakukan jual-beli
dibolehkan tawar-menawar selama belum berpisah; jika mereka itu berlaku jujur
dan menjelaskan (ciri dagangannya), maka mereka akan diberi barakah dalam
perdagangannya itu; tetapi jika mereka berdusta dan menyembunyikan (ciri
dagangannya), barakah dagangannya itu akan dihapus." (Riwayat Bukhari)
Dan
beliau bersabda pula: "Tidak halal seseorang menjual suatu perdagangan,
melainkan dia harus menjelaskan ciri perdagangannya itu; dan tidak halal
seseorang yang mengetahuinya, melainkan dia harus menjelaskannya."
(Riwayat Hakim dan Baihaqi)
Lebih
keras lagi haramnya, jika tipuannya itu diperkuat dengan sumpah palsu. Oleh
karena itu Rasulullah melarang keras para saudagar banyak bersumpah, khususnya
sumpah palsu.
Rasulullah
s.a.w. bersabda: "Sumpah itu menguntungkan perdagangan, tetapi dapat
menghapuskan barakah." (Riwayat Bukhari)
Salah
satu macam penipuan ialah mengurangi takaran dan timbangan. Al-Quran menganggap
penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari mu'amalah, dan dijadikan
sebagai salah satu dari sepuluh wasiatnya di akhir surat al-An'am, yaitu:
"Penuhilah
takaran dan timbangan dengan jujur, karena Kami tidak memberi beban kepada
seseorang melainkan menurut kemampuannya." (al-An'am: 152)
"Penuhilah
takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan jujur dan lurus, yang
demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan. (al-Isra': 35)
"Celakalah
orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain
(membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain
(menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu
tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari
yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap
kepada Tuhan seru sekalian alam?!" (al-Muthafifin: 1-6)
Di antara bentuk yang diharamkan Islam sebagai usaha
untuk memberantas kriminalitas dan membatasi keleluasaan pelanggaran oleh si
pelanggar, ialah tidak halal seorang muslim membeli sesuatu yang sudah
diketahui, bahwa barang tersebut adalah hasil rampokan dan curian atau sesuatu
yang diambil dari orang lain dengan jalan yang tidak benar. Sebab kalau dia
berbuat demikian, sama dengan membantu perampok, pencuri dan pelanggar hak
untuk merampok, mencuri dan melanggar hukum.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut: "Barangsiapa
membeli barang curian, sedang dia mengetahui bahwa barang tersebut adalah
curian, maka dia bersekutu dalam dosa yang cacat." (Riwayat Baihaqi)
Islam
menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan
jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela
orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.
"Hai
orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang
tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau
berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika
kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak
boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi." (al-Baqarah: 278-279)
Apabila
si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa
dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka sementara fuqaha'
ada yang mengharamkannya dengan dasar, bahwa tambahan harga itu justru
berhubung masalah waktu. Kalau begitu sama dengan riba.
Tetapi
jumhurul ulama membolehkan, karena pada asalnya boleh, dan nas yang
mengharamkannya tidak ada; dan tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi
manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang
pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan kezaliman. Kalau
sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram.
Imam
Syaukani berkata: "Ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid
billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan
boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat."
_______________________________________________________________________
Daftar Pustaka :
1. Syekh Muhammad Yusuf
Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Bab IV point 4.2, bagian Muamalah Alih
bahasa: H. Mu'ammal Hamidy, Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993.